Diposkanoleh Reny Ashilla Zahrantiara Label: pendidikanHukum di 2:16 AM. Istilah-Istilah dan Pengantar ilmu hukum yaitu : A. MASYARAKAT HUKUM. Manusia itu hakekatnya adalah makhluk sosial, mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat dengan manusia-manusia lain. Kumpulan atau persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama
Tulisan ini mengkaji mengenai hakekat keilmuan ilmu hukum ditinjau dari sudut filsafat ilmu dan teori hukum. Dari sudut filsafat, istilah ilmu [science] menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Teori hukum memandang, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas suigeneris, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami karakteristik ilmu hukum meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena ilmu hukum lebih bersifat normatif ketimbang empiris dan obyek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Ilmu hukum tetap diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu hukum. Dengan demikian pengkajian ilmu hukum harus beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi 2 dua aspek pendekatan, yaitu pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ILMU HUKUM HAKEKAT KEILMUANNYA DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT ILMU DAN TEORI ILMU HUKUM Titik Triwulan TutikAbstract This paper examines the nature of science of jurisprudence regarding the terms of the philosophy of science and legal theory. From the point of philosophy, the term science bears two meanings, as a product and as a process. As a product, science is refer to „knowledge‟ that has been provided truth in a particular field and are arranged in a system. In the perspective of some legal theories, law as science has a distinctive character suigeneris, that it is normative. Those characteristics caused some law scholars that do not understand the characteristics of jurisprudence have doubted law as a science. Doubt it caused more normative jurisprudence rather than empirical and his study object with respect to the guidance of behavior in a way that compliance is not entirely dependent on free will is concerned, but can be imposed by a public authority. Science still accepted as a science of law while respecting the character of law which constitute the personality of law. Thus the study of jurisprudence should be moved from the scientific nature of the law, which includes two 2 aspects of the approach, namely the approach from the point of philosophy of science, and the approach from the standpoint of legal theory. Keywords the nature of science, sui generis, jurisprudence, philosophy of science, theory of law Abstrak Tulisan ini mengkaji mengenai hakekat keilmuan ilmu hukum ditinjau dari sudut filsafat ilmu dan teori hukum. Dari sudut filsafat, istilah ilmu [science] menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Teori hukum memandang, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas suigeneris, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami karakteristik ilmu hukum meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena ilmu hukum lebih bersifat normatif ketimbang empiris dan obyek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Ilmu hukum tetap diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu hukum. Dengan Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas`Airlangga. Alama korespondensi e-mail tt_titik 246 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 demikian pengkajian ilmu hukum harus beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi 2 dua aspek pendekatan, yaitu pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum. Kata kunci hakekat ilmu, sui generis, ilmu hukum, filsafat ilmu, teori ilmu hukum I. Pendahuluan Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah Ilmu Hukum itu ilmu? Menurut Lasiyo, pertanyaan tersebut seyogyanya tidak sekedar dicari jawabnya secara instan, tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek segi kajian penelitian, ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Di dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah data. Metode kajian terhadap ilmu hukum beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Karakter yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami karakteristik ilmu hukum itu mulai meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan tersebut dikarenakan karena kajian terhadap ilmu hukum lebih bersifat ketimbang paparan tersebut, isu hukum yang muncul adalah Pertama, apakah Ilmu Hukum merupakan ilmu? Jika ilmu hukum adalah ilmu, termasuk dalam cabang ilmu manakah ilmu hukum? Kedua, apakah sama karakter ilmu hukum dan metode kajian ilmu hukum dengan ilmu lainnya misalnya ilmu alam atau ilmu sosial? Dari dua isu hukum tersebut, maka tulisan ini disusun mengikuti sistematika antara lain I Pendahuluan; II Konstruksi Ilmu Hukum; III Karakter Normatif Ilmu Hukum; IV Jenis dan Lapisan Ilmu Hukum; V Penerapan Hukum dan Pembentukan Hukum Praktek Hukum; dan VI Penutup. Lasiyo dalam M. Hadin Muhjad, dkk., ”Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum Kajian Teoritis dan Praktis”, Surabaya Unesa University Press, 2003, hal. iii. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ”Argumentasi Hukum”, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005, hal. 1. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 247 II. Konstruksi Ilmu Hukum Istilah ilmu [science] menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Wim van Dooren, mengemukakan bahwa ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan stelselmatig atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan megamati gejala-gejala [gegevens] yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan. Berangkat dalam dua makna tersebut, van Peursen, mendefinsikan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan. Ilmu adalah sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan, yang dijalankan orang terhadap [yang berkenaan] itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harold Berman, harus memenuhi tiga perangkat kriteria, yaitu 1 kriteria metodologikal, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkat pengetahuan yang terintegrasi yang lahir dalam konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif; 2 kriteria nilai, yaitu subtansi yang mengacu pada premis-premis nilai obyektivitas, bebas pamrih [disinterestedness], skeptis, toleransi, dan keterbukaan; 3 kriteria sosiologikal, yang meliputi pembentukan kominitas ilmuwan, penautan berbagai disiplin ilmiah, dan status demikian keberadaan ilmu merujuk pada suatu struktur yang unsur-unsurnya meliputi; 1 pra-anggapan sebagai guiding principle; 2 bangunan sistematis yakni metode dan subtansi [konsep dan teori]; 3 keberlakuan intersubyektif; dan 4 tanggungjawab definisi ini tampil 3 tiga aspek penting, yaitu titik tolak, bangunan sistematis dan keberlakuan subsubyektif. Lihat Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum”, Bandung Mandar Maju, 2000, hal. 104. Merujuk pada cara kerja metodis-sistematis dengan bersaranakan seperangkat lambang dalam pengelolaan dan penjelasan gejala-gejala terberi serta penataan gejala-gejala tersebut ke dalam sebuah sistem Lihat Bernard Arif Sidharta, Op. Cit. Ibid., hal. 105. Titik Triwulan Tutik, “Pengantar Ilmu Hukum”, Jakarta Prestasi Pustaka, 2006, hal. 2. Lihat juga, Trianto dan Titik Triwulan Tutik, “Ilmu Hukum sebagai Sui Generis Sebuah 248 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 Berdasarkan ciri-ciri ilmu di atas, maka terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada aspek [patokan/kriteria] yang digunakan. Berdasarkan aspek substansi, dikenal Ilmu Formal dan Ilmu Empiris. Ilmu formal merujuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau fakta empiris. Obyek kajiannya bertumpu pada pada struktur murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika. Dapat disebutkan yang termasuk dalam ilmu formal misalnya, logika dan matematika serta teori sistem. Ilmu empiris merujuk kepada ilmu yang bertumpu pada pengetahuan faktual. Dalam rangka memperoleh pengetahuan faktual itu dieksplorasilah kenyataan aktual. Ilmu yang berkarakteristik demikian bersumber pada empiris [pengalaman] dan eksperimen sehingga bersifat empirikal dan eksperimental. Ilmu empiris dalam mengelola dan menganalisis pengetahuan faktualnya sering mempergunakan perspektif positivis, sehingga sering disebut juga sebagai ilmu positif – walaupun tidak sepenuhnya benar. Ilmu empiris terdiri dari ilmu-ilmu alam [naturwissen-schaften] dan ilmu-ilmu manusia [geisteswissenscaften]. Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan/atau menambah pengetahuan. Adapun sebagai vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas aktivitas penerapan itu sendiri sebagai obyeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan, atau menwarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Ilmu praktis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis. Ilmu praktis normologis berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yaitu pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitas-deterministik. Sedangkan ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi [menautkan tanggungjawab/kewajiban] untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam kenyataannya apa yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan sendirinya terjadi. Ilmu Praktis Normologis disebut juga dengan Ilmu Normatif atau Ilmu Dogmatik. Merujuk pada klasifikasi keilmuan di atas, maka apakah ilmu hukum adalah ilmu? Menjawab pertanyaan ini secara arif, Philipus M. Hadjon mengatakan, bahwa bukan masanya untuk memperdebatkan hal tersebut. Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu yang kemukakan Philipus M. Hadjon tersebut cukuplah beralasan, karena apabila ditinjau dari sudut pandang karakteristik dan kepribadian, Ilmu Hukum dipandang sebagai suatu ilmu Pengantar”, dalam Trianto dan Titik Triwulan Tutik eds., “Bunga Rampai Ilmu Hukum”, Jakarta Prestasi Pustaka, 2007, hal. vii. Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik Normatif, dalam “Yuridika”, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember 1994, hal. 1. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 249 memiliki karakter yang khas. Dengan karakter demikian ilmu hukum merupakan ilmu tersendiri sui generis. Sehingga dengan kualitas keilmiahannya sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial, maupun cabang ilmu humaniora. Tetapi berdasarkan karakteristik keilmuwan, menurut Bernard Arief Sidharta, ilmu hukum termasuk dalam kelompok ilmu praktis, walaupun demikian sebagaimana ilmu kedokteran, ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu, bukan karena mempunyai sejarah yang panjang, tetapi juga karena sifatnya sebagai ilmu normatif dan dampak langsungnya terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh oleh sifat dan problematikanya. Gambar 1. Ragam Cabang Ilmu Sumber Bernard Arief Sidharta, 2000 114 Ibid. Bernard Arif Sidharta, Op. Cit., hal. 113. NON-OTORITATIF Etika, Pedagogi 250 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 Gambar 2. Ragam Cabang Ilmu Sumber Bernard Arief Sidharta, 2000 114 III. Karakter Normatif Ilmu Hukum 1. Terminologi Ilmu Hukum Ilmu Hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science [Inggris], dan jurisprudent [Jerman]. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechwetenschap oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris. Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif. Istilah rechtswetenschap [Belanda] dalam arti sempit adalah dogmatika hukum atau ajaran hukum [de rechtsleer] yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistematisasi hukum posisitf dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatika hukum tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai. Rechtswetenschap dalam arti luas meliputi dogmatika hukum, teori hukum [dalam arti sempit] dan filsafat hukum. Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2005, hal. 20. ILMU-ILMU GAMMA ILMU-ILMU SOSIAL ILMU-ILMU BETA ILMU-ILMU ALAM BERTUMPU PADA ILMU-ILMU GAMMA BERTUMPU PADA ILMU-ILMU ALPHA BERTUMPU PADA ILMU-ILMU BETA Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 251 Rechtstheorie juga mengandung makna sempit dan luas. Dalam arti sempit rechtstheorie adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatika hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum [een verklarende wetenschap van het recht].Istilah jurispudence, legal science, dan legal philosophy dalam bahasa Inggris, mempunyai makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda di atas. Lord Lloyd O Hamstead dan Freemanmemberikan gambaran sebagai berikut Jurisprudence involves the study of general theoretical questions about the nature of laws and legal system, about the relationship of law to justice and morality and about the social nature of law … and science, however, is concerned with empirically observable fact and Visser Thooft, dari sudut pandang filsafat ilmu, menggunakan istilah rechtswetenschappen [ilmu-ilmu hukum], dan merumuskan sebagai disiplin yang obyeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan recht is made wetwnschap. Sementara Meuwissen, menggunakan istilah rechtsbeoefening [pengembanan hukum] untuk menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam Karakter Normatif Ilmu Hukum Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu Teori hukum [rechtstheorie] dalam konteks ini merupakan ilmu yang sifatnya interdisipliner yang dalam arti luas digunakan dalam rechtswetenschap arti yang sama dengan dalam arti luas J. Gijssels dan Marck van Hoecke dalam Philipus M. Hadjon dan dan Tatiek Sri Djamiati, Op. Cit., h. 6 Ibid. Ibid. Pengertian pengembanan hukum dibedakan ke dalam Pengembanan Hukum Praktis dan Pengembanan Hukum Teoritis. Pengembanan Hukum Praktis adalah semua kegiatan manusia berkenaan dengan hal mewujdukan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkret, sedangkan Pengembanan Hukum Teoritis menunjuk pada pada refleksi teoritis terhadap hukum, yaitu kegiatan akal budi untuk memeproleh penguasaan intelektual atau pemahaman hukum secara ilmiah atau secara metodis sistematis-logis-rasional. Lihat, Bernard Arief Sidharta, Op. Cit., h. 117 252 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 empiris. Selain itu juga obyek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan harus diakui bahwa di sisi lain juris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-kajian yang bersifat empirikal. Usaha menghidupkan aspek empiric dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri. Langkah ini dilakukan antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum selain dengan membedah peraturan produk hukum dari aspek substansinya, juga dengan membedah aspek empirisnya dengan dibantu metode penelitian yang dipinjam dari metode penelitian ilmu sosial [penelitian empirik]. Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas [pengkajian ilmu hukum], seharusnya beranjak dari hakekat keilmuan hukum. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya. Pertama, pendekatan dari sudut falsafah ilmu. Kedua, pendekatan dari sudut pandang teori hukum. 3. Pendekatan dari Sudut Falsafah Ilmu Filsafat ilmu lahir sebagai refleksi secara filsafati akan hakikat ilmu yang tidak mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai yaitu kebenaran hakiki dan kenyataan riil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari Filsafat Ilmu yang menurut Lasiyo adalah menguasai hakikat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Op. Cit., hal. 1. Bernard Arif Sidharta, Op. Cit. Dalam sudut pandang Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, hal ini merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai kerancuan dalam usaha pengembangan ilmu hukum [seolah-olah ilmu hukum termasuk cabang ilmu social – padangan ini adalah kaparah]. Melalui kajian ini sebagian juris Indonesia menjadi kehilangan kepribadian dan konsekuensi. Alhasil, pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak dapat tertangani secara professional – pendidikan hukum tidak jelas arahnya. Lihat, Ibid., hal. 1-2. Metode sosial dapat digunakan dalam fundamental research yang memandang hukum sebagai fenomena sosial. Lihat, Terry Hutchinson dalam Ibid., hal. 2. Lihat Banakar dan Travers, 2011. Catatan ini ditambahkan pada tulisan untuk memperlihatkan sudut pandang yang bersifat menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan penelitian hukum. Tidak hanya dari satu perspektif saja. -Editor Sri Winarsi, Hukum Otonomi Saerah dalam Perspektif Filsafat Ilmum, dalam “Jurnal Konstitusi”, LKK Universitas Airlangga Volume I Nomor 1, November 2008, hal. 94. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 253 ilmu dalam konteks metodologi dan implementasinya dalam kehidupan pendapat tersebut, peranan falsafah ilmu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, membedakan ilmu dari 2 dua sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif atau dogmatika hukum. Bagaimana sekarang dengan Ilmu Hukum dari sudut pandang filsafat ilmu? Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa dari sudut ini ilmu hukum memiliki 2 dua sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normatif metode kajiannya khas. Ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif, tergantung sifat datanya. Hakekat keilmuan ilmu hukum apabila ditinjau dari pendekatan falsafah ilmu, dapat digambarkan sebagai berikut 4. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu dogmatik hukum, teori hukum [dalam arti sempit], dan Lasiyo, “Filsafat Ilmu Pengetahuan”, Handout, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 2. Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hal. 2. 1. Pandangan positivisme … Ilmu Empiris - sociological jurisprudence - socio legal jurisprudence Ilmu hukum empiris - penelitian kualitatif-kuantitatif the gab is described but is rarely explained Gbr. 3. Pendekatan Falsafah Ilmu 254 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas. Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum [dalam arti sempit]. Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum. Gbr. 4. Lapisan Ilmu Hukum menurut Teori Ilmu Hukum Sbr. Bernard Arief Sidharta, 2000 162. 5. Jenis Dan Lapisan Ilmu Hukum Ilmu hukum [dari segi obyek] dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit, yang dikenal dengan ilmu hukum dogmatik [ilmu hukum normatif] dan ilmu hukum dalam arti luas. Ilmu hukum dalam arti luas dapat ditelaah dari sudut pandangan sifat pandang ilmu maupun dari sudut pandangan tentang lapisan ilmu hukum seperti yang dilakukan oleh J. Gijssels dan Mark van Hoecke. Dari sudut pandang ilmu dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut pandangan ini dibedakan ilmu hukum normatif [dogmatik] dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu proses, produk dan produsen [ilmuwan]. Perbedaan sifat keilmuan dua bidang ilmu hukum tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut. Tabel 1. Perbedaan Sifat Keilmuwan Bidang Ilmu Hukum Pandangan Positivistik Ilmu Hukum Empirik Pandangan Normatif Ilmu Hukum Normatif Teori Hukum dalam arti sempit Teori Hukum dalam arti luas Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 255 Hanya informatif [empiris] Hanya metode pengalaman inderawi Termasuk juga metode lain Hanya sosiologi hukum empiris da teori hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas Sumber Bruggink, 1999 189. Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain 1 secara tegas membedakan fakta dan norma; 2 gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial; 3 metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris; dan 4 bebas dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah Pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma sehingga peranan subyek sangat menonjol. Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Kebenaran ilmu hukum normatif karena yuris menganalisis norma dengan menggunakan perspektif keahliannya, maka bersifat Gijssels dan Mark van Hoecke, membedakan ilmu hukum berdasarkan pelapisan ilmu hukum, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum. Ketiga lapisan ilmu hukum tersebut Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum …, Op. Cit., hal. 2. Catatan ini ditambahkan oleh editor karena penjelasan penulis tentang perbedaan persepsi terhadap kebenaran antara kajian hukum normatif dengan kajian hukum empiris belum selesai. Ibid., hal. 3. 256 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 selanjutnya diarahkan kepada praktek hukum. Berikut ini dijelaskan mengenai masing-masing lapisan ilmu hukum tersebut. 6. Filsafat Hukum Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik hukum [ilmu hukum positif]. Perkembangan ini sejalan dengan pendapat Lili Rasjidi, bahwa filsafat hukum adalah refleksi teoritis [intelektual] tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan refleksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana dikemukakan J. Gejssels, filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan gejala hukum. Hal yang sama juga dalam dalil Meuwissen, bahwa rechtfilosofie is filosofie. Filsafat hukum adalah filsafat karena di dalam kajian tersebut, orang merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Berkaitan dengan ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang meliputi 1 ontologi hukum, yakni mempelajari hakekat hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dan moral dan lainnya; 2 aksiologi hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti; kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya; 3 ideologi hukum,yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum atau bagian dari sistem hukum; 4 epistemologi hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakekat hukum atau masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan; 5 teleologi hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum; 6 keilmuan hukum,yakni merupakan meta teori bagi hukum; dan 7 logika hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum dan struktur sistem hukum. Bernard Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 119. Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hal. 4. Ibid., hal. 4-5. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 257 Tabel 2. Sifat Keilmuan Filsafat Hukum Landasan dan batas-batas kaidah hukum Informatif, tetapi terutama normatif dan evaluative Sumber JJH Bruggink, 1999 181. 7. Teori Hukum [dalam arti sempit] Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence atau legal theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak, spekulatif dan dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum posisif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada pada semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah umum tersebut meliputi sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat. Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti sejarah hukum, sosiologi Bernard Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 122. 258 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 hukum dan lainnya. Permasalahan utama ialah apakah yuris mampu secara mandiri melakukan hal tersebut. Berkaitan dengan sifat interdisipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi 1 analisis bahan hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum-figur hukum, fungsi dan sumber hukum; 2 ajaran metode hukum, meliputi metode kajian dogmatik terhadap hukum, metode pembentukan hukum dan metode penerapan hukum; 3 metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau disiplin hermenetik. 4 kritik ideologi hukum. Berbeda dengan ketiga bidang kajian di atas, kritik ideologi merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan 3. Sifat Keilmuwan Teori Hukum 1. Gejala umum dalam hukum positif [algemene rechtsleer] 2. Kegiatan hukum - dogmatika hukum - pembentukan hukum - penemuan hukum Sumber Bruggink, 1999 176. Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hal. 3. Ibid.,h. 4 Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 259 8. Dogmatika Hukum Dogmatika hukum atau kajian dogmatis terhadap hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. Meuwissen 1979, memberikan batasan pengertian dogmatika hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif. Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh M. van Hoecke 1982. Ia mendefinisikan dogmatika hukum sebagai cabang ilmu hukum [dalam arti luas] yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut terlihat, tujuan ahli dogmatika hukum bekerja tidak hanya secara teoritikal, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktikal. Dengan kata lain, dogmatika hukum berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa ahli dogmatika hukum bekerja dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut berbicara [peserta aktif secara langsung] dalam diskusi yuridik terhadap hukum posistif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi ahli dogmatika hukum adalah teori pragmatis. Proporsi yang ditemukan dalam dogmatika hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif. Tabel 4. Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum 1. mempelajari aturan hukum dari segi teknis; 2. berbicara tentang hukum; 3. bicara hukum dari segi hukum 4. bicara problem yang konkret 1. merupakan refleksi pada teknik hukum; 2. tentang cara yuris bicara tentang hukum 3. bicara hukum dari perspektif yuridis ke dalam bahasa non yuridis 4. bicara tentang pemberian alasan terhadap hal tersebut. Sumber Philipus M. Hadjon, 1994 3. Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, Terjemahan Bernard Arief Sidharta, Bandung Citra Aditya Bhakti, 1999, hal. 169. Ibid. 260 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa teori hukum tidaklah senantiasa normatif seperti dogmatika hukum. Teori hukum merupakan metateori bagi dogmatika hukum. Sumber Bruggink, 1999 172. Gambar 5. Hubungan Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum IV. Praktek Hukum Penerapan dan Pembentukan Hukum Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut 2 dua aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Gbr. 6. Alur Pengembangan Hukum Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 261 1. Penerapan Hukum Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebur De rechter is bounche de la loi, yang mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang. Berdasarkan beban tugas hakim itu, peran penemuan hukum merupakan tugaas yang harus dilakukan dengan interpretasi besar dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi 3 [tiga] bagian, yaitu a. Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim; b. Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk; dan c. Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh Pembentukan Hukum Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai interpretasi hukum, kekosongan hukum [leemten in het trecht], antinomi dan norma yang kabur [vage normen]. Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang, selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum [rechtsvinding]. Artinya hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim [rechtsvorming]. Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat perundang-undangan. Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa metode interpretasi hukum meliputi interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, wets-en rectshistorische interpretatie, interpretasi perbandingan hukum interpretasi perbandingan hukum, interpretasi antisipasi, dan interpretasi Metode Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi, dalam “Yuridika”, Jurnal Hukum Universiotas Airlangga Surabaya, No. 1 Tahun V, Januari – Pebruari 1990, hal. 32. Ibid., hal. 31. Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Hukum …., “Op. Cit., hal. 6. Bandingkan dengan metode interpretasi yang dikemukan Olberseh van Bemmelen dalam Soewoto, Ibid., hal. 35. 262 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 Van Bemmelen dalam bukunya Praktische rechtsvragen 1891 membedakan metode interpretasi meliputi 1 de textuale interpretatie, 2 intentionele interpretatie, 3 principiele interpretatie, 4 rationele interpretatie, 5 morele interpretatie, 6 comparatieve interpretatie, 7 analogische interpretatie, 8 legislative interpretatie, 9 historische interpretatie, dan 10 evolutieve interpretatie. De textuale interpretatie merupakan nama baru saja dari interpretasi gramatikal. Intentionele interpretatie dijelaskan sebagai gericht op de bedoeling van de wet. Dengan begitu kedua jenis interpretasi ini sebenarnya tidak lain dari teleologische interpretatie. Adapun penafsiran prinsipil [principiele interpretatie] dan penafsiran atas normal hukum [morele interpretatir] merupakan jenis penafsiran baru oleh van Bemmelen. Penafsiran prinsipil adalah penafsiran yang gericht op strekking, doel, motieven of beginselen van de wet. Sedangkan interpretasi komparatif merupakan nama lain dari interpretasi sistematis. a. Interpretasi Gramatikal Interpretasi gramatikal mengartikan bahwa suatu term hukum suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Dalam istilah Belanda sebagai “De rechter die zoekt naar de algemene of jurisch-technische betekenis van de woorden van de wet, hanteert de “gramaticale interpretatie” [methode].” Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, bahwa interpretasi gramatikal itu harus logis. Sebagai contoh penafsiran mengenai istilah “menggelapkan” yang secara implisit tercantum dalam Pasal 41 KUH Pidana ada kaitannya ditafsirkan sebagai dengan interpretasi gramatikal tersebut hakim tidak berhasil atau kurang puas, maka ia akan menggunakan interpretasi sistematis [systematische interpretatie]. d. Interpretasi Sistematis Melalui metode ini hakim akan mendapatkan arti suatu pasal dalam dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang lain. Undang-undang atau pasal-pasal tertentu akan diberi makna dalam hubungannya dengan makna dari pasal-pasal terkait dalam suatu tatanan norma hukum yang berlaku. Dengan kata lain bahwa interpretasi sistematis bertitik tolak dari sistem aturan mengartikan sesuatu ketentuan hukum. Menurut Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, menafsirkan undang-undang tetap harus berada dalam koridor sistem perundang-undangan. Misalnya, jika hendak mengetahui tentang Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”, Bandung Aditya Citra Bhakti, 1993, hal. 15. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 263 sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, hakim dipersilakan mencari ketentuan-ketenuan dalam KUH Perdata dan menghubungkannya dengan Pasal 278 KUH Perdata. e. Wets-en rectshistorische interpretatie Merujuk pada M. van Hoecke,menyebutkan ada dua macam penafsir histories, yaitu wetshistorische interpretatie, dan rechtshistorische interpretatie. Usaha menelusuri maksud pembentukan undang-undang adalah suatu wetshistorische interpretatie”, misalnya dengan mempelajari “memorie penjelasan”, menelusuri nasehat yang diberikan oleh “Raad van State” [baca DPA]. Dalam usaha menemukan jawaban atas suatu isu hukum dengan menelusuri perkembangan hukum aturan disebut “historische interpretatie”. Misalnya jika hendak menjelaskan ketentuan dalam KUH Perdata – tidak terbatas pada sampai pada terbentuknya KUH Perdata saja, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum Romawi. Sedangkan, mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia. f. Interpretasi Perbandingan Hukum Interpretasi ini mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan berbagai stelsel hokum. Dengan memperbandingkannya hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. Menurut Lemaire interpretasi perbandingan hukum ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisasi kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif kaidah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas. g. Interpretasi Antisipasi Interpretasi antisipasi atau Interpretasi futuristik diperlukan untuk menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. Dengan lain kata, bahwa interpretasi antisipasi merupakan penjelasan ketentuan undang-undang dengan Ibid., hal. 17. Soewoto, Ibid., hal. 33. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 19. 264 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. h. Interpretasi Teleologis [Teleologische Interpretie] Setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. Metode ini digunakan jika hakim ingin memahami hukum dalam kaitannya dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Ajaran “de rechter is bounche de la loi” mutlak mewajibkan hakim harus memahami maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Tujuan hukum dan tujuan pembuat undang-undang berbeda. Tujuan hukum sifatnya umum yang isinya ditentukan ditentukan oleh doktrin hukum. Tujuan pembuat undang-undang sifatnya khusus, dalam arti setiap undang-undang mempunyai tujuan dan politik perundangan apakah penyadapan atau penggunaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang dilakukan orang lain termasuk pencurian menurut Pasal 362 KUH Pidana Catatan seandainya pada waktu undang-undang ini dibuat diasumsikan belum dibayangkan adanya kemungkinan pencurian aliran listrik. Pertanyaan yang kemudian muncul yaitu apakah tenaga listrik itu merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal 362 KUH Pidana. Kemudian akan ditafsirkan, bahwa tenaga listrik itu ersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu, karena untuk memperolehnya diperlukan biaya dan aliran listrik dapat diberikan orang lain dengan penggantian biaya, dan bahwa Pasal 362 KUH Pidana bertujuan untuk melindungi harta kekayaan orang lain. V. Metode Kajian Ilmu Hukum Penelitian ilmu hukum menurut Peter M. Marzuki, dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai bukan menolak atau menerima hipotesis, melainkan memberikan preskripsi memgenai apa yang seyogyanya atas itu yang diajukan. Berdasarkan penjelasan di atas, metode yang dipergunakan dalam mengkaji ilmu hukum juga memiliki perbedaan dengan metode dalam mengkaji ilmu selain ilmu hukum, misalnya ilmu sosial maupun ilmu alamiah menurut Marzuki. Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karaker ilmu hukum itu sendiri, yaitu sifatnya yang normatif, praktis, terapan dan preskriptif. Mengikuti karakteristik kelimuan tersebut, ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang seyogianya atau apa yang Soewoto, Op. Cit., hal. 34. Peter M. Marzuki, 2001, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Volume 16 No. 1, Maret-April 2001, hal. 1. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 265 seharusnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan dengan karakter tersebut apakah metode ilmiah dapat diterapkan untuk ilmu hukum? Menurut Webster Dictionary, scientific method adalah Principles and procedures for the systematic of knowledge involving the recognition and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the formulation and testing of hal tersebut, maka secara umum alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah-langkah antara lain 1 perumusan masalah, 2 penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, 3 perumusan hipotesis, 4 pengujian hipotesis, dan 5 penarikan langkah di atas harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah walaupun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur. Di mana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah berikutnya, namun dalam praktek sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Dengan demikian, bahwa langkah satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah beikutnya, namun sekaligus juga sebagai landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini, menurut Bambang Sunggono, diharapkan juga diproseskan pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris. Pada awalnya, metode ilmiah hanya digunakan untuk ilmu-ilmu alamiah. Hal ini disebabkan keilmuan tersebut bersifat deskriptif, yaitu mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta Berbard Barber, metode ilmiah tersebut juga dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Hal ini Peter Mahmud Marzuki, 2006, “Penelitian Hukum”, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 26. Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu”, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1998, hal. 342. Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1998, hal. 51l. Sebagaiman diketahui bahwa metode ilmiah secara sistematis pertama kali diusung oleh oleh Francis Bacon, meskipun formulasinya mengalami beberapa penyempurnaan. Secara umum formulasi Bacon ini diterima kalangan ilmuan sejak abad XVII sampai saat ini. Dengan metode ini para ilmuan dalam mencari kebenaran melakukan eksperimen yang tujuannya untuk melakukan observasi secara cermat, teliti, dan mendetail mengenai gejala-gejala yang bersifat alamiah. Oleh sebab itulah awalnya metode ilmiah diperuntukkan bagi ilmu-ilmu alamiah. 266 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 mengingat, bahwa perbedaan antara ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial hanya dalam tingkat perkembangannya bukan pada dengan Barber, menurut Edwin W. Patterson, menawarkan penggunaan metode ilmiah di dalam penelitian hukum. Akan tetapi dalam perbincangan selanjutnya ia terjebak ke dalam masalah perilaku dan efektivitas. Ia tidak menyentuh hal-hal yang bersifat paparan tersebut dapat disimpulkan, bahwa metode ilmiah, yaitu logico-hypotetico-verivicative hanya berlaku untuk keilmuan yang bersifat deskriptif, yaitu dalam kerangka menelaskan hubungan sebab-akibat antara dua hal. Menurut hemat penulis sifat keilmuan hukum adalah preskriptif. Dengan demikian, metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat diterapkan untuk ilmu hukum. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, menurut Philipus M. Hadjon, ilmuwan hukum haruslah menegaskan 1 dengan cara apakah yang pasti, dia membangun teorinya; 2 haruslah menyajikan langkah-langkahnya sehingga pihak lain dapat mengontrol hasil teorinya controleerbaar; dan 3 harus mempertanggungjawabkan kenapa memilih cara yang yang dikemukan oleh Philipus M. Hadjon cukup beralasan. H. J. van Eikema Hommes menyatakan, bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Dengan demikian menurut penulis, dalam pemilihan metode untuk mengkaji ilmu hukum harus merujuk pada beberapa hal dan sekaligus sebagai pembatas, yaitu perumusan masalah, obyek yang diteliti dan tradisi keilmuan hukum itu sendiri. Hal ini merujuk pada hasil dari suatu penelitian hukum tersebut, yaitu pada dasarnya adalah argumentasi hukum. Langkah demikian diharapkan pada akhirnya dapat merumuskan suatu teori. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 27-28. Terdapat lima disiplin yang dapat dikatakan benar-benar ilmu sosial, yaitu Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Psikologi, Sosiologi, dan Anthropologi. Hal ini disebabkan kelima disiplin tersebut mempunyai obyek perilaku masyarakat. Selain itu juga masih terbuka disiplin lain untuk dapat dikatakan sebagai ilmu sosial, yaitu sejarah. Ibid., hal. 28. Philipus M. Hadjon, 1994, “Pengkajian …. ,” Op. Cit., hal. 7. Peter M. Marzuki, 2003, “Penelitian Hukum”, Makalah. Lokakarya Penelitian Hukum Normatif di Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember tanggal 4 Oktober 2003, hal. 1. Menurut Jan Gejssels dan Mark van Hoecke, bahwa ilmu hukum pada dasarnya mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis yang berupa dogmatik hukum dan aspek teoritis berupa teori hukum. Oleh sebab itu, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Lihat Ibid. Hakekat Ilmu Hukum Ditinjau dari Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Tutik 267 VI. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan kembali pokok-pokok pikiran sebagai berikut 1. Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter keilmuan ilmu hukum yang merupakan kepribadian ilmu hukum, yaitu normatif, terapan dan preskriptif. Dengan karakter yang khas tersebut ilmu hukum merupakan sui generis; 2. Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas pengkajian ilmu hukum, seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, yang meliputi 2 dua aspek pendekatan, yang dapat dilakukan untuk menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendiriya membawa konsekuensi pada metode kajiannya, yaitu pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum. 268 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 April-Juni 2014 Daftar Pustaka Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Bernard Arief Sidharta, Bandung Citra Aditya Bhakti, 1999. Hadjon, Philipus M. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik Normatif”, dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November – Desember 1994. -, dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 2005. Marzuki, Peter M. Penelitian Hukum, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2006. -, 2001, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Volume 16 No. 1, Maret-April 2001. -, 2003, “Penelitian Hukum”, Makalah. Lokakarya Penelitian Hukum Normatif di Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember tanggal 4 Oktober 2003. Mertokusumo, Sudikno. dan Pitlo, A. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung Aditya Citra Bhakti, 1993. Muhjad, M. Hadin., dkk. Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Hukum Kajian Teoritis dan Praktis, Surabaya Unesa University Press, 2003. Sidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung Mandar Maju, 2000. Soewoto, “Metode Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi” dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 1 Tahun V, Januari – Pebruari 1990. Sri Winarsi, “Hukum Otonomi Daerah dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dalam Jurnal Konstitusi LKK Universitas Airlangga Volume I Nomor 1, November 2008. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1998. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1998. Trianto dan Tutik, Titik Triwulan. “Ilmu Hukum sebagai Sui Generis Sebuah Pengantar”, dalam Trianto dan Titik Triwulan Tutik eds., Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta Prestasi Pustaka, 2007. Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta Prestasi Pustaka, 2006. ... As we know that the law has its own language which is sui generis follo wing the nature of the law itself [4]. Every word and sentence in the law has a special understanding that should not be deviated or interpreted in a double way, so it is natural for legal scientists to require good legal norms to be legal norms that do not have double or multip le word 'must be accompanied' and 'accompanied' literally has a different degree of mandatory, but perhaps in Law No. 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation the two words have the same meaning. ... Sarip SaripNur RahmanTheorists struggle to determine the nature of the separation of power. There are many objections to the tripartite separation three powers of the state in the form of the legislature, executive and judiciary by referring to Montesquieu in his Spirit of the Laws for the history of political theory originating in the French state. The separation of powers is a vital feature of western democracies, enshrined in various federal and state constitutions. As a broad principle, theorists struggle to determine its precise nature, and many argue that the tripartite separation of state power into legislative, executive and judicial branches has proved simple and impossible. I think we should understand the separation of powers as a strategy used to structure the relationship between separate institutions. This structuring process empowers the creation of new relationships between institutions, with the aim of enhancing their institutional integrity. In short, we split up just to reconnect. These strategies direct attention to inter-agency relationships highlighting the contribution of these relationships to keeping institutional integrity together. Keywords Separation of powers, Institutions, Authority, Meeting each Cahya Adyaksana PutraLaras AstutiThe high number of COVID-19 cases has had a multidimensional impact starting from the economy entering a wave of recession. In Indonesia, the government has implemented Physical Restrictions and Work From Home policies with the aim of reducing the risk of the spread of COVID-19. This policy also applies at the court level where the implementation of judicial hearings in the judicial room directly or through e-court because a direct trial has the potential to cause crowds and create new clusters of Covid-19 transmission. This study aims to identify and analyze legal remedies for the validity of evidence in criminal cases in online trials during the COVID-19 pandemic. This research is a normative research. Normative legal research is legal research that uses sources obtained from literature studies. Normative legal research includes research on legal principles, clinical legal research, legislation, legal history and comparative law. The results show that the validity of evidence in criminal cases can be seen based on two things, first from the theoretical side of the validity of evidence in criminal cases through legal teleconferences because Indonesia adheres to the theory of a negative proof system where in addition to evidence referring to the law, it also places the judge's conviction in seeking material truth. Second, from a juridical point of view, it can be narrowed down, namely the evidence in criminal case trials via teleconference during the COVID-19 pandemic is legally valid because first the debate over Article 185, there are rules outside the Criminal Procedure Code that regulate electronic evidence and the condition of the COVID-19 pandemic requires the state to prioritize safety. citizens but must continue to carry out the criminal justice JemarutUU No. 12 Tahun 2012 menetapkan ilmu hukum dalam rumpun ilmu terapan. Tujuan dari penelitian ini yakni 1 merefkesikan kembali hakikat keilmuan ilmu hukum, dan 2 mereposisi ilmu hukum dalam rumpun ilmu. Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian normatif dengan pendekatan konseptual conceptual approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 ilmu hukum memiliki kekhasan; objek materialnya norma, cara pandang terhadap objek material yakni normatif, dan bentuk pernyataan ilmiahnya preskriptif. Selain itu ilmu hukum memiliki aspek teoritis dan aspek praktis. Atas dasar itu, 2 ilmu hukum dikategorikan sebagai ilmu dalam rumpun tersendiri satu rumpun dengan etika karena memiliki objek material khas. Law No. 12 of 2012 stipulates legal science in the applied sciences. The aims of this research are 1 to re-reflect the nature of legal science, and 2 to reposition legal science within the scientific clump. The research method used is normative research with a conceptual approach. The results of the study show that 1 the legal science has its own characteristics; the material object is the norm, the perspective on the material object is normative, and the form of scientific statement is prescriptive. In addition, the legal science has a theoretical aspect and a practical aspect. On that basis, 2 legal science is categorized as a science in a separate family one family with ethics because it has a distinctive material Tentang Struktur Ilmu HukumBernard SidhartaAriefSidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung Mandar Maju, Otonomi Daerah dalam Perspektif Filsafat Ilmu" dalam Jurnal Konstitusi LKK Universitas Airlangga Volume I Nomor 1Sri WinarsiSri Winarsi, "Hukum Otonomi Daerah dalam Perspektif Filsafat Ilmu" dalam Jurnal Konstitusi LKK Universitas Airlangga Volume I Nomor 1, November Ilmu Hukum Dogmatik NormatifPhilipus M HadjonHadjon, Philipus M. "Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik Normatif", dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX, November -Desember Hukum sebagai Sui Generis Sebuah PengantarTitik Trianto Dan TutikTriwulanTrianto dan Tutik, Titik Triwulan. "Ilmu Hukum sebagai Sui Generis Sebuah Pengantar", dalam Trianto dan Titik Triwulan Tutik eds., Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta Prestasi Pustaka, TutikTriwulanTutik, Titik Triwulan. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta Prestasi Pustaka, Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi " dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga SurabayaSoewotoSoewoto, " Metode Interpretasi Hukum Terhadap Konstitusi " dalam Yuridika Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 1 Tahun V, Januari – Pebruari Tatiek SriDjatmiati, dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta Gadjah Mada University Press, J H BrugginkRefleksi TentangHukumBruggink, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Bernard Arief Sidharta, Bandung Citra Aditya Bhakti, Hukum sebagai Sui Generis Sebuah PengantarJujun S Filsafat SuriasumantriIlmuSuriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1998. Trianto dan Tutik, Titik Triwulan. "Ilmu Hukum sebagai Sui Generis Sebuah Pengantar", dalam Trianto dan Titik Triwulan Tutik eds., Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta Prestasi Pustaka, 2007. Kitabhukum Indonesia diantaranya masih menggunakan istilah dengan bahasa latin yang masih asing ditelinga kita. Baca juga: Awas Keliru, Inilah 10 Makna Istilah Sulit dalam Saham, Wajib Tahu Sebelum Trading Inilah, definisi dari sepuluh istilah hukum penting yang wajib diketahui, versi Tribun Kaltim.. 1.Istilahistilah dalam Ilmu Hukum. Penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah melakukan delik. Pemeriksaan terhadap perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau
Rubrik Cahaya Qalbu ini Diasuh Oleh Ustadz Fakhry Emil Habib, Lc, Dipl. Tuangku Rajo Basa Alaumni S1 Universitas Al-Azhar Fakultas Syariah Islam dan Hukum 2011-2015. Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Fakultas Dirasat Ulya Jurusan Usul Fikih 2016-2017. Peneliti Magister Universitas Al-Azhar jurusan Usul Fikih 2018-Sekarang. Baca tulisan bagian pertama dengan klik link berikut 12. Rukun Yaitu sesuatu yang harus terpenuhi karena merupakan komponen dari perbuatan yang diperintahkan oleh syariat. Contohnya membaca Surat al-Fatihah, rukuk, sujud dan juga duduk tasyahud akhir, semuanya merupakan rukun salat. Contoh lainnya adalah lafaz ijab dan kabul, penjual dan pembeli serta barang dan uang yang merupakan rukun jual-beli. 13. Syarat Yaitu sesuatu yang harus terpenuhi, namun bukan bagian dari perbuatan yang diperintahkan oleh syariat. Syarat hanyalah pendahuluan dari amal yang tersebut. Setiap mukalaf wajib melaksanakan syarat ini jika ia mampu. Contohnya adalah berwudu, menghadap kiblat dan masuknya waktu yang merupakan syarat sah salat, akan tetapi hakikatnya bukan bagian dari salat. Efeknya, jika syarat-syarat ini hilang di pertengahan salat, maka salat ikut batal. Ada yang ulama yang menjelaskan syarat sebagai sesuatu, dimana keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya, dan jika ia tidak ada maka hukum pun tidak ada. Dan ia tidak termasuk ke dalam hakikat hukum tersebut¹. 14. Sebab Yaitu sesuatu yang mempengaruhi ada atau tidaknya hukum. Dengan kata lain, Allah jadikan adanya sebab sebagai tanda adanya hukum, dan ketiadaannya sebagai ketiadaan hukum. Hukum adalah akibat musabbab. Contohnya adalah masuknya waktu merupakan sebab wajibnya salat, masuknya Bulan Ramadan merupakan sebab wajibnya puasa, nisab merupakan sebab wajibnya zakat, akad jual beli merupakan sebab berpindahnya kepemilikan barang dan keteledorang sengaja atau tidak merupakan sebab penggantian². 15. Mâni’ Penghalang/Pembatal Yaitu sesuatu yang adanya mempengaruhi adanya hukum. Dengan kata lain, mâni’ adalah sifat yang menempel pada sesuatu, yang jika sesuatu itu ada, maka hukum menjadi tidak ada, atau sebab hukum menjadi tidak ada. Dalam artian, penghalang ini bisa saja menghalangi hukum, bisa juga menghalangi sebab hukum. Contohnya adalah pembunuhan yang merupakan pembatal hak waris. Meskipun ada hubungan kekerabatan atau pernikahan, namun terjadi pembunuhan pewaris oleh ahli waris, maka haknya menjadi batal. Sama juga dengan perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Contoh lain adalah tidur, gila dan pingsan yang merupakan penghalang wajibnya perintah agama dan tuntutan syariat, karena Rasulullah Saw bersabda رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ Artinya “Pena pencatat amal diangkat dari tiga orang dari kanak-kanak hingga ia dewasa, dari orang yang tidur hingga ia terjaga dan dari orang gila hingga ia kembali waras”³. 16. Azîmah Yaitu hukum dasar yang Allah syariatkan kepada seluruh hamba-Nya. Dengan kata lain, seluruh hukum syariat bisa disebut azîmah, kecuali jika ada hal-hal penyebab rukhsah. Azîmah mencakup kelima hukum taklif. 17. Rukhsah Yaitu hukum yang berlaku namun bertentangan dengan dalil asli karena adanya uzur. Ini karena Allah ingin meringankan beban dan memberi kelapangan bagi hamba-hamba-Nya. Rukhsah mencakup empat hukum taklif saja, yaitu – Rukhsah wajib, seperti memakan bangkai dalam keadaan darurat. – Rukhsah sunah, seperti mengqasar salat bagi musafir. – Rukhsah mubah, seperti melihat aurat pasien wanita bagi dokter laki-laki, dan menjamak dua salat bagi musafir. – Rukhsah makruh, seperti mengucapkan kalimat kufur karena terpaksa meskipun hati masih kokoh beriman, dan tidak berpuasa bagi musafir, meskipun level makruhnya hanyalah khilâfu al-awlâ. 18. Sahih Yaitu hukum syariat yang berlaku terhadap sebuah perbuatan, saat terpenuhinya sebab, rukun dan syarat, tidak terdapat penghalang dan pembatal. Sebuah ibadah yang dinilai sahih memiliki efek-efek syarak. Contohnya adalah salat yang sahih, sehingga efek syaraknya adalah menggugurkan kewajiban seorang mukalaf. Transaksi jual-beli yang sahih, sehingga efek syaraknya adalah perpindahan kepemilikan uang dan barang. Nikah yang sahih sehingga efek syaraknya adalah kehalalan hubungan kenikmatan antara suami-istri^4. Sebaliknya, perbuatan yang tidak sahih adalah yang tidak memiliki efek-efek syarak. Jika perbuatan itu hukumnya wajib, maka kewajiban mukalaf belum gugur sehingga ia masih harus melakukan kewajiban tersebut mesti diulang. Jika perbuatan itu adalah akad, maka tidak ada efek apa-apa^5. Jika perbuatan itu adalah syarat, maka tujuan syarat tidak terwujud^6. Sifat sahih ini berlaku pada rukun, sebab, syarat, mâni’ dan hukum-hukum syariat pada umumnya ketika hal-hal ini telah sesuai dengan tuntutan syarak dan sejalan dengan maksud ditetapkannya hal tersebut. 19. Fasid dan batal bâthil Dua kata ini dalam Mazhab Syafi’i memiliki makna yang sama, yaitu hukum tidak sahih/tidak sah. Baik dalam ibadah maupun muamalah. Baik penyebab batalnya itu ada pada rukun, syarat maupun sifat pelaksanaan, kecuali dalam pembahasan yang wajib dan fardu dibedakan seperti dalam pembahasan haji. Fasid dan batil tidak memiliki efek-efek syarak sebagaimana yang terjadi pada perbuatan yang sah. Dengan kata lain, perbuatan yang batal seolah-olah tidak ada, karena tidak dianggap dalam pandangan syariat. Sehingga jika sebuah amal batal, maka amal itu wajib diulang agar efek-efek syaraknya berlaku. *** Tambahan dari penerjemah Istilah fikih lain yang juga harus diketahui 1. Yakin Yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat pasti. Adakalanya pengetahuan tersebut berasal dari tangkapan panca indera, deduksi dari premis-premis yang juga bersifat pasti dan kabar dari sumber yang mustahil salah. Contoh pertama adalah orang yang tahu bahwa ada Amerika Serikat karena pernah berada disana. Contoh kedua adalah orang yang tahu ada Amerika Serikat karena menyimpulkan dari banyaknya produk negeri tersebut yang tersebar di sekitarnya. Contoh ketiga adalah orang yang tahu ada Amerika Serikat karena mendapatkan kabar dari semua orang yang tidak mungkin sepakat berdusta bahwa negeri itu ada. 2. Zan Dugaan kuat Yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya tidak pasti, namun persentase kebenarannya lebih besar dari kesalahannya, dilandasi dengan indikator-indikator yang dapat dipertanggungjawabkan. Contohnya adalah orang yang mengetahui akan terjadi hujan karena melihat mendung. Pengetahuannya ini bersifat zan karena masih berkemungkinan salah. 3. Waham Yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya tidak pasti, namun persentase kesalahannya lebih besar dari kebenarannya, karena bertentangan dengan indikator-indikator yang ada. Contohnya adalah orang yang menduga hujan tidak akan turun meskipun ada mendung. Pengetahuannya ini bersifat waham, kemungkinan salahnya lebih besar, namun tetap memiliki kemungkinan benar meskipun kecil. 4. Syak Yaitu keadaan tidak pasti antara benar dan salah, karena indikator yang ada menunjukkan keduanya, atau memang tidak ada indikator sama sekali. Contohnya adalah orang yang menemukan durian di dalam rumahnya, dan tidak tahu durian itu milik siapa, karena semua orang yang tinggal di rumah tersebut menyukai durian dan punya kemampuan untuk membeli durian. * catatan kaki 1. Namun jika ia ada, hukum belum tentu ada. Contohnya, orang yang telah berwudu belum tentu salat. 2 Bedanya dengan syarat adalah, adanya sebab berimplikasi adanya hukum. Tetapi adanya syarat belum tentu berimplikasi adanya hukum. 3 HR. Abu Daud 2/251, 252, Nasai 6/127 dan Ibnu Majah 1/658. Makna pena pencatat amal diangkat adalah terhalangnya beban syariat taklif, bukan diangkat secara literal. al-Majmu’ 6/276 4. Sahih dalam prakteknya disebut sah. Sebenarnya sah dalam Bahasa Arab adalah kata kerja, bukan kata sifat. 5. Seperti akad jual-beli yang tidak sah, maka kepemilikan barang dan uang tidak berpindah. 6. Misalnya suci yang merupakan syarat salat. Jika wudu tidak sahih, maka salat pun tidak terlaksana.